Ketika FFI menjadi FBI
Kini kita telah berada disuatu zaman yang baru, zaman yang telah berkembang diseleluruh dunia, dikenal dengan sebutan era interaktif media dimana semua jenis media dijadikan satu bahasa yang interaktif. Sebagian industri perfilman mungkin sadar akan hal tersebut sehingga hampir semua media, TV, internet, majalah dll dijadikan alat untuk mempromosikan hasil kerja mereka. Lalu apa yang salah? Tidak ada yang salah. Tidak salah, tapi sok ngerti.
Lebih tepatnya kita hanya tau, tapi ga paham cara mengaplikasikannya dengan baik. Pergantian nama Festival Film Indonesia (FFI) menjadi festival sinetron indonesia contohnya. Dikarenakan sinetronlah yang sedang marak di semua program pertelevisian. Kini film layar lebar dengan bumbu adegan-adegan sex juga sedang marak, apa kita semua mau nama FFI berubah menjadi festival bokep indonesia?
Mari kita flashback. Beberapa waktu yang lalu perfilman kita pernah dilanda oleh virus film yang bertemakan KOMEDI – CINTA – SEX. Beberapa diantaranya memakai judul film yang “mengundang”. Ya, mengundang dalam tanda kutip. Suatu judul film dijadikan alat propaganda untuk menarik penonton menyaksikan film tersebut. parahnya, film horor kini juga telah ikut melenceng dari apa yang seharusnya disajikan. Bukan lagi isi cerita yang ditonjolkan dalam promosinya, melainkan sederet artis berpenampilan sexy lah yang menjadi sorotan utama, lengkap dengan beberapa cuplikan adegan mesum pemeran utamanya. Ini horor, bukan bokep.
Sebagai contoh, tahun 2008 perfilman indonesia dihebohkan dengan kemunculan suatu film layar lebar dengan judul yang mempunyai arti yang cukup vulgar, dan hampir sebagian besar warga indonesia tahu artinya. Jadi begitu diliat sepintas aja orang-orang pasti udah tau ini film bakalan kaya gimana isinya. Tapi supaya ga terlalu mencolok judulnya agak-agak diplesetin dari arti sebenarnya. Pintar. Dari judul, poster dan sinopsis aja udah bisa ngegambarin, ya pastinya adegannya ga jauh jauh dari adegan vulgar. Tapi giliran diprotes banyak orang atau banyak adegan yang dipotong sama lembaga sensor film, jawabannya cuma satu ’film ini punya pesan moral yang bagus kok’. Helloooouuu??? Orang-orang juga tau kaleee maksud lo apa.
Dan yang cukup membuat kita geleng-geleng kepala, ternyata beberapa film dengan tema seperti ini cukup sukses dipasaran. Sedangkan mari kita review ulang, apakah film-film bertemakan nasionalisme, keluarga, ataupun sosial cukup diminati?. Sesama warga indonesia mari kita renungkan, apa isi otak masyarakat memang suka hal yang beginian? cuma penasaran? atau hanya iseng kah? Relatif, tidak ada yang tahu jawaban pastinya.
Tapi satu yang pasti, Indonesia telah lama melupakan sisi edukatif sebuah film. Nilai seni telah pergi, kabur. Yang tertingal hanyalah struktur institusi bisnis. Uang, uang, dan lagi-lagi hanya uang. Sebuah film yang seharusnya memiliki fungsi estetika, pengetahuan, politik, dan ekonomi kini telah tercoreng dengan hal hal yang cenderung bokep. Tapi please ya, jangan mentang-mentang ga bisa buat sesuatu yang nyeni terus maksa, dan akhirnya narik perhatian orang dengan cara murahan. Seperti yang dikatakan Garin Nugroho, ”film kita dibunuh oleh nasionalisme yang sempit”. Ya, tepat. Investasi perfilman indonesia yang kecil bukannya dikembangkan, tapi malah dimatikan. Sungguh sangat tolol.
Sekedar mengingatkan, sebuah film yang mempunyai nilai seni yang tinggi, konsep cerita yang menarik, akting pemain yang bagus, adegan menyentuh (bukan menyentuh badan) ataupun pesan moral yang baik akan jauh lebih dihargai oleh para penontonnya. Bukan hanya sekedar film kacangan yang ditonton, lalu ditinggal.
Mungkin kita harus belajar dari seorang pelukis. Dimana nilai seni dari hasil karyanya lah yang menentukan besar atau kecilnya harga lukisan tersebut. membuat kita sedikit lebih mencintai arti sebuah seni.
Stefanindiana Gandhi